Senin, 06 April 2015

ETIKA DAN PROFESIONALISME (tugas 2)

ETIKA DAN PROFESIONALISME
Tema : Kode Etik Profesi
Kode Etik Kedokteran


Disusun Oleh :
Eka Putri Tisna Y        (12111352)
KELOMPOK 2
4KA31




FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI
SISTEM INFORMASI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2015


Etika Kedokteran

Kode etik adalah pedoman perilaku yang berisi garis – garis besar, adalah pemandu sikap dan perilaku. Dalam kedokteran, kode etik menyangkut dua hal yang harus diperhatikan ialah :
Etik Jabatan Kedokteran ( Medical Ethics ) : Menyangkut masalah yang berkaitan dengan sikap dokter terhadap teman sejawat, para pembantunya serta terhadap  masyarakat & pemerintah.
Etik Asuhan Kedokteran ( Ethics of Medical Care ) : Mengenai sikap & tindakan seorang dokter terhadap penderita yang menjadi tanggungjawabnya.
( Etika Kedokteran, Ratna Samil, 2001 )
Etika merupakan bagian dari filsafat aksiologi yang mempelajari baik-buruk, benar-salah, pantas-tidak pantas, dsb. Dalam penggunaan sehari-hari, nilai/norma dalam masyarakat umum berlaku dan ditentukan oleh masyarakat tertentu.
Dalam kode etik oleh Hammurabi, telah disusun bermacam-macam sistem/peraturan mengenai para dokter. Terdapat pula beberapa bagian mengenai norma-norma tinggi moral/akhlak dan tanggung jawab yang diharapkan harus dimiliki oleh para dokter serta petunjuk-petunjuk mengenai hubungan antar dokter-pasien dan beberapa masalah lain. 



Etika Kedokteran mempunyai 3 ( tiga ) azas pokok,  yaitu :

1. Otonomi
a. Hal ini membutuhkan orang – orang yang kompeten, dipengaruhi oleh kehendak dan keinginannya sendiri dan kemampuan ( kompetensi ). Memiliki pengertian pada tiap-tiap kasus yang dipersoalkan memilik kemampuan untuk menanggung konsekuensi dari keputusan yang secara otonomi atau mandiri telah diambil.
b. Melindungi mereka yang lemah, berarti kita dituntut untuk memberikan perlindungan dalam pemeliharaan, perwalian, pengasuhan kepada anak-anak, para remaja dan orang dewasa yang berada dalam kondisi lemah dan tidak mempunyai kemampuan otonom (mandiri ).
2. Bersifat dan bersikap amal, berbudi baik. Dasar ini tercantum pada etik kedokteran yang sebenarnya bernada negatif ; PRIMUM NON NOCERE “ ( = janganlah berbuat merugikan / salah ). Hendaknya kita bernada positif dengan berbuat baik dan apabila perlu kita mulai dengan kegiatan yang merupakan awal kesejahteraan para individu /masyarakat.
3. Keadilan
Azas ini bertujuan untuk menyelenggarakan keadilan dalam transaksi dan perlakuan antar manusia, umpamanya mulai mengusahakan peningkatan keadilan terhadap si individu dan masyarakat dimana mungkin terjadi risiko dan imbalan yang tidak wajar dan bahwa segolongan manusia janganlah dikorbankan untuk kepentingan golongan lain.





 ( kodeki, MKEK,2002 )
Etika kedokteran dapat diartikan sebagai kewajiban berdasarkan moral yang menentukan praktek kedokteran. Selama beberapa dasawarsa terakhir ini, masalah – masalah etik kedokteran merupakan masalah yang penting ; masyarakat saat ini telah mempersalahkan secara agresif mengenai bagaimana dan kepada siapa pelayanan kesehatan diberikan. Perhatian masyarakat kepada masalah etik kedokteran telah membawa profesi kedokteran kepada kebutuhan yang meningkat mengenai pandangan masyarakat ini, tidak hanya yang berkenaan dengan hubungan antara dokter – pasien, tetapi juga bagaimana kemajuan dalam ilmu & teknologi kedokteran mempengaruhi masalah hak asasi manusia.

Hubungan antara dokter – pasien adalah hubungan antar manusia – manusia, yang akan tercapai apabila masing – masing pihak benar – benar menyadari hak & kewajibannya serta memahami peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Merupakan pedoman bagi dokter Indonesia anggota IDI dalam melaksanakan praktek kedokteran. Tertuang dalam SK PB IDI no 221/PB/A.4/04/2002 tanggal 19 April 2002 tentang penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Kode Etik Kedokteran Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1969 dalam Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Indonesia. Dan sebagai bahan rujukan yang dipergunakan pada saat itu adalah Kode Etik Kedokteran Internadional yang telah disempurnakan pada tahun 1968 melalui Muktamar Ikatan Dokter Sedunia ke 22, yang kemudian disempurnakan lagi pada MuKerNas IDI XIII, tahun 1983.



KEWAJIBAN UMUM

Pasal1 Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Dokter.

Pasal2 Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standard profesi yang tertinggi.

Pasal3 Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan
hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.

Pasal4 Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.

Pasal5 Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan
dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.

Pasal6 Setiap dokter harus senantiasa berhati hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan tehnik atau pengobatan
baru yang belum diuji kebenarannya dan hal hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

Pasal7 Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya..

Pasal7a Seorang dokter harus, dalam setiappraktek medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan
teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang ( compassion ) dan penghormatan atas martabat manusia.

Pasal7b Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dansejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan
sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan, dalam menangani pasien.

Pasal7c Seorang dokter harus menghormati hak hak pasien, hak hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus
menjaga kepercayaan pasien.

Pasal7d Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup mahluk insani.

Pasal8 Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua
aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh ( promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif ), baik fisik maupun psiko-sosial,
serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar benarnya.

Pasal9 setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat dibidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus
saling menghormati.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN
Pasal10 Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien.
Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib
merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

Pasal11 Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan
penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.

Pasal12 Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia.

Pasal13 Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada
orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT
Pasal14Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
Pasal15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan
prosedur yang etis.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI
Pasal16 Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.

Pasal17 Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi kedokteran/kesehatan



PELANGGARAN / SANKSI PIDANA & PERDATA KODE ETIK KEDOKTERAN

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran

Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin profesi kedokteran.
 MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah “disiplin profesi”, yaitu permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK.
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa di pengadilan – tanpa adanya keharusan saling berhubungan di antara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya.
            Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.
            Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :
1.      Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait (pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang dibutuhkan
2.      Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.
            Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada hukum pidana ataupun perdata. Bar’s Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya, membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa lampau. Cara pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak perlu disumpah padainformal hearing, tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis persidangan yang lebih tinggi daripada yang informal). Sedangkan bukti berupa dokumen umumnya di”sah”kan dengan tandatangan dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti keterangan diakhiri dengan pernyataan kebenaran keterangan dan tandatangan (affidavit).
            Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti yang dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus memiliki standard of proof seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga tidak serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond reasonable doubt tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan padapreponderance of evidence dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan bahwa tingkat kepastian pada perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat masalah yang diajukan. Semakin serius dugaan pelanggaran yang dilakukan semakin tinggi tingkat kepastian yang dibutuhkan.5
            Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin profesi, yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya. Di Australia digunakan berbagai istilah seperti unacceptable conduct,unsatisfactory professional conduct, unprofessional conduct, professional misconduct dan infamous conduct in professional respect. Namun demikian tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilah-istilah tersebut, meskipun umumnya memasukkan dua istilah terakhir sebagai pelanggaran yang serius hingga dapat dikenai sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktik.
            Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham dengan putusan MKEK.
            Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.




CONTOH KODE ETIK KEDOKTERAN

Kode etik dokter terdiri dari 17 pasal yang dibagi lagi berdasarkan kewajiban dokter. Kewajiban tersebut meliputi kewajiban umum yang harus dilakukan semua dokter berjumlah 9 pasal, kewajiban terhadap pasien, teman sejawat, dan diri sendiri.
Pada pasal pertama, ditekankan bahwa dokter harus mengamalkan sumpah dokter. Inti dari pasal-pasal berikutnya, dokter harus menghindari sifat memuji diri sendiri serta menghindari perbuatan yang bisa membuat mental pasien turun, kecuali memang untuk kebaikan mereka. Misalnya saja menyembunyikan penyakit parah dari sang pasien untuk menjaga semangatnya.
Dalam melakukan kerjanya, seorang dokter juga harus memberikan pelayanan yang sesuai dengan bidangnya dan dilakukan dengan penuh kasih saying, serta menjaga kejujuran. Hak pasien pun harus tetap dijaga. Untuk dirinya sendiri pun seorang dokter harus menjaga kesehatan agar dapat menjalankan profesinya dengan baik. Selain itu, dokter diwajibkan mengikuti info terbaru mengenai dunia kesehatan.

Dengan adanya kode etik seorang dokter, diharapkan pelayanan yang diberikan dan diterima oleh pasien bisa maksimal, serta tetap mempertahankan rasa kemanusiaan sekalipun dokter dan pasien sering kali tidak memiliki hubungan darah.


sumber :


http://w-afif-mufida-fk12.web.unair.ac.id/artikel_detail-68488-1%20Etika%20Kedokteran-Etika%20Kedokteran%20Indonesia%20dan%20Penanganan%20Pelanggaran%20Etika%20di%20Indonesia%20Budi%20Sampurna.html 

http://www.bimbingan.org/kode-etik-seorang-dokter.htm


Pengikut